Tuesday, September 30, 2008

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ___ TAHUN 200_
TENTANG
PERBANKAN SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MENIMBANG :
a. Bahwa untuk memajukan perekonomian nasional yang merata guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri;

b. Bahwa perbankan Syariah yang berasaskan prinsip syariah dengan fungsi sebagai penghimpun, penyalur, pengelola dana masyarakat serta pelaksana kegiatan dalam rangka kemaslahatan masyarakat memiliki peran yang strategis untuk memajukan perekonomian nasional guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri tersebut;
c. Bahwa untuk lebih mendorong pertumbuhan Perbankan Syariah secara optimal, diperlukan pengaturan kegiatan bank syariah yang komprehensif, jelas dan mengandung kepastian hukum;
d. Bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan ketentuan tentang Bank Syariah dalam undang-undang tersendiri

MENGINGAT :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 23, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 19945.
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembar Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembar Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembar Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembar Negara Nomor 3790);
3. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian (Lembar Negara Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembar Negara Nomor 3502);
4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembar Negara Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembar Negara Nomor 3587);
5. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembar Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembar Negara Nomor 3608).
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembar Negara Tahun 1999 Nomor 66 , Tambahan Lembaran Negara 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang–Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembar Negara Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4352).

DENGAN PERSETUJUAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :

MENETAPKAN : UNDANG-UNDANG TENTANG PERBANKAN SYARIAH

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, menyangkut kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya;
2. Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, menyangkut kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya yang berdasarkan Prinsip Syariah;
3. Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk melakukan investasi dan penitipan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah;
4. Bank Syariah adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk investasi dan titipan dana dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan dan/atau bentuk-bentuk lainnya berdasarkan Prinsip Syariah;
5. Bank Umum Syariah adalah bank syariah yang melakukan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;
6. Direktorat Usaha Syariah adalah satuan kerja di kantor pusat bank konvensional yang melakukan kegiatan usaha bank berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan/atau unit syariah yang dipimpin oleh seorang direktur untuk mengepalai direktorat tersebut;
7. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang melaksanakan kegiatan usaha bank berdasarkan Prinsip Syariah, yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu-lintas pembayaran;
8. Kantor Cabang adalah kantor Bank Syariah yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank Syariah yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas di mana kantor cabang tersebut melakukan kegiatan dan usahanya;
9. Unit Syariah adalah satuan kerja khusus dari kantor cabang atau kantor cabang pembantu bank yang kegiatan usahanya melakukan penghimpunan dana, penyaluran dana, dan pemberian jasa perbankan lainnya berdasarkan Prinsip Syariah dalam rangka persiapan perubahan menjadi kantor cabang syariah;
10. Bank Umum Konvensional adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa lalu lintas pembayaran;
11. Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
12. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank Syariah;
13. Nasabah Penitip dan/atau Nasabah Investor adalah nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dalam bentuk titipan berdasarkan akad Bank Syariah dengan nasabah yang bersangkutan;
14. Nasabah Pembiayaan adalah nasabah yang memperoleh fasilitas pembiayaan atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad Bank Syariah dengan nasabah yang bersangkutan;
15. Dewan Syariah Nasional adalah lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang memiliki kewenangan menetapkan hal yang terkait dengan aspek syariah antara lain fatwa tentang produk, jasa, dan kegiatan Bank Syariah.
16. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang berlaku;
17. Pimpinan Bank Indonesia adalah pimpinan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang berlaku;
18. Deputi Gubernur Bank Indonesia adalah anggota dewan gubernur sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang berlaku;
19. Pihak terafiliasi adalah :
a. Anggota dewan komisaris, direksi atau kuasanya, pejabat, atau karyawan Bank Syariah;
b. Anggota pengurus, pengelola atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank, khusus bagi Bank Syariah yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Pihak yang memberikan jasanya kepada Bank Syariah, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lainnya;
20. Merger adalah penggabungan dari dua Bank Syariah atau lebih atau antara bank syariah dengan bank umum konvensional, atau bank perkreditan rakyat, dengan tetap mempertahankan berdirinya salah satu Bank Syariah;
21. Konsolidasi adalah penggabungan dari dua Bank Syariah atau lebih atau antara bank syariah dengan bank umum konvensional, atau bank perkreditan rakyat, dengan cara mendirikan Bank Syariah baru;
22. Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan oleh Bank Syariah terhadap suatu Bank Syariah atau bank umum konvensional, atau bank perkreditan rakyat;
23. Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penitip dan titipannya.


BAB II
ASAS, FUNGSI, PRINSIP, DAN TUJUAN

Pasal 2

Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan keadilan, keterbukaan, kesetaraan, universalitas dan sesuai syariah.

Pasal 3

(1) Perbankan Syariah berfungsi sebagai penghimpun, penyalur, dan pengelola dana masyarakat serta pelaksana kegiatan dalam rangka kemaslahatan ekonomi masyarakat.
(2) Dalam melaksanakan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Perbankan Syariah bersifat universal.

Pasal 4

(1) Perbankan Syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya menggunakan prinsip bagi hasil, penyertaan modal, jual-beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan pemberian jasa pelayanan bank.
(2) Dalam menjalankan kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menerapkan prinsip kehati-hatian.

Pasal 5

Perbankan Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas ekonomi nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat.


BAB III
JENIS, DAN USAHA BANK SYARIAH

Bagian Pertama
Jenis Bank Syariah

Pasal 6

(1) Menurut jenisnya Bank Syariah terdiri dari :
a. Bank Umum yang secara penuh menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah;
b. Bank Umum Konvensional yang memiliki Direktorat Usaha Syariah; dan
c. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
(2) Bank Umum Syariah dan Direktorat Usaha Syariah dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan usaha dan/atau kegiatan tertentu dengan memberikan perhatian yang lebih besar kepada usaha dan/atau kegiatan tertentu.







Bagian Kedua
Usaha Bank Umum Syariah Dan Direktorat Usaha Syariah

Pasal 7

(1) Usaha Bank Umum Syariah dan Direktorat Usaha Syariah meliputi :
a. Produk-produk dan jasa yang telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional.
b. Kegiatan usaha bank lainnya yang lazim dilakukan Bank Umum Syariah sepanjang tidak bertentangan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional.
(2) Ketentuan perpajakan mengenai produk dan usaha Bank Umum Syariah dan Direktorat Usaha Syariah diperlakukan mengikuti ketentuan perpajakan jasa keuangan dan perbankan lainnya.

Pasal 8

Bank Umum Syariah dan Direktorat Usaha Syariah dilarang :
a. Melakukan segala bentuk transaksi yang bertentangan dengan prinsip syariah .
b. Melakukan kegiatan usaha tertentu yang telah dilarang oleh undang-undang yang berlaku.


Bagian Ketiga
Usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

Pasal 9

(1) Usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah meliputi :
a. Produk-produk dan jasa yang telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional.
b. Kegiatan usaha bank lainnya yang lazim dilakukan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sepanjang tidak bertentangan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional.
(2) Ketentuan perpajakan mengenai produk dan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah diperlakukan mengikuti ketentuan perpajakan jasa keuangan dan perbankan lainnya.

Pasal 10

Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dilarang :
a. Melakukan segala bentuk transaksi yang bertentangan dengan prinsip syariah .
b. Melakukan kegiatan usaha tertentu yang telah dilarang oleh undang-undang yang berlaku.

Pasal 11

(1) Setiap Bank Syariah wajib menjamin dana dari masyarakat yang dititipkan pada Bank Syariah yang bersangkutan
(2) Untuk menjamin titipan dari masyarakat, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan
(3) Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berbentuk badan hukum Indonesia
(4) Ketentuan mengenai penjaminan dana dan lembaga penjamin simpanan, diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.







BAB IV
PERIZINAN, BENTUK HUKUM DAN KEPEMILIKAN

Bagian Pertama
Perizinan

Pasal 12

(1) Berdirinya Bank Syariah wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum Syariah, Direktorat Usaha Syariah atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dari pimpinan Bank Indonesia.
(2) Untuk memperoleh izin usaha Bank Umum Syariah, Direktorat Usaha Syariah atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib dipenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang :
a. Susunan organisasi dan kepengurusan;
b. Permodalan;
c. Kepemilikan;
d. Keahlian di bidang perbankan;
e. Kelayakan rencana kerja.
(3) Persyaratan dan tata cara perizinan bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Pasal 13

(1) Bank Umum Konvensional yang membuka kegiatan usaha syariah harus memiliki Direktorat Usaha Syariah.
(2) Direktorat Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimungkinkan membidangi divisi lain asalkan tidak bertentangan dengan kegiatan usaha syariah yang dijalankan.

Pasal 14

(1) Pembukaan kantor cabang oleh Bank Umum Syariah dan Direktorat Usaha Syariah hanya dapat dilakukan dengan izin pimpinan Bank Indonesia.
(2) Pembukaan kantor cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri oleh Bank Umum Syariah dan Direktorat Usaha Syariah hanya dapat dilakukan dengan izin pimpinan Bank Indonesia.
(3) Pembukaan kantor di bawah kantor cabang oleh Bank Umum Syariah dan Direktorat Usaha Syariah wajib dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia.
(4) Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor oleh Bank Umum Syariah dan Direktorat Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Pasal 15

(1) Pembukaan kantor cabang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat dilakukan dengan izin pimpinan Bank Indonesia.
(2) Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor cabang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dalam ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Pasal 16

(1) Pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari suatu Bank Syariah yang berkedudukan di luar negeri, hanya dapat dilakukan dengan izin pimpinan Bank Indonesia.
(2) Pembukaan kantor cabang di bawah kantor cabang pembantu dari bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
(3) Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor-kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.


Bagian Kedua
Bentuk Hukum

Pasal 17

(1) Bentuk hukum suatu Bank Syariah dapat berupa perseroan terbatas, perusahaan daerah dan koperasi;
(2) Bentuk hukum dari kantor perwakilan dan kantor cabang yang berkedudukan di luar negeri mengikuti bentuk hukum kantor pusatnya.


Bagian Ketiga
Kepemilikan

Pasal 18

(1) Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan oleh :
a. Warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; atau
b. Warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan pendirian yang wajib dipenuhi pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Pasal 19

Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh :
a. Warga Negara Indonesia;
b. Badan Hukum Indonesia yang seluruh kepemilikannya oleh warga negara Indonesia; atau
c. Pemerintah Daerah.
d. Dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c.


Pasal 20

(1) Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang berbentuk hukum perseroan terbatas dan perusahaan daerah sahamnya hanya dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama.
(2) Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang berbentuk hukum koperasi, kepemilikannya diatur berdasarkan ketentuan dalam undang-undang tentang perkoperasian yang berlaku.

Pasal 21

(1) Bank Umum Syariah dapat melakukan emisi saham melalui bursa efek.
(2) Warga Negara Indonesia, warga negara asing, badan hukum Indonesia dan/atau badan hukum asing dapat membeli saham Bank Umum Syariah, baik secara langsung dan/atau melalui bursa efek.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 22

Perubahan Kepemilikan Bank Syariah wajib :
a. Memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21; dan
b. Dilaporkan kepada Bank Indonesia.

Pasal 23

(1) Merger, konsolidasi, dan akuisisi wajib terlebih dahulu mendapat izin pimpinan Bank Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai merger, konsolidasi, dan akuisisi ditetapkan dengan peraturan pemerintah.





BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 24

(1) Pembinaan dan pengawasan Bank Syariah dilakukan oleh Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional.
(2) Bank Indonesia berperan melakukan pembinaan dan pengawasan pada Bank Syariah menyangkut aspek teknis perbankan syariah.
(3) Dewan Syariah Nasional berperan melakukan pembinaan dan pengawasan pada bank syariah menyangkut aspek syariah.

Pasal 25

(1) Bank Indonesia melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Bank Syariah dipimpin oleh Deputi Gubernur atau Pejabat Setingkat Deputi Gubenur Bank Indonesia.
(2) Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Bank Indonesia mengikuti ketentuan undang-undang yang berlaku.

Pasal 26

(1) Pengangkatan keanggotaan Dewan Syariah Nasional dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia.
(2) Anggota Dewan Syariah Nasional wajib memiliki kompetensi di bidang syariah.
(3) Tata cara pemilihan dan penunjukan keanggotaan Dewan Syariah nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dan ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia.
(4) Dewan Syariah Nasional bertugas :
a. Menumbuh kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan perbankan pada khususnya.
b. Mengeluarkan fatwa atas produk, jasa dan kegiatan perbankan syariah.
c. Mengawasi fatwa atas produk, jasa dan kegiatan perbankan syariah.
(5) Dewan Syariah Nasional berwenang :
a. Melakukan pemeriksaan dan pengawasan terhadap bank syariah melalui organ yang dibentuk, baik secara berkala atau setiap waktu apabila diperlukan.
b. Mengeluarkan fatwa yang mengikat Bank Syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait.
c. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia.
d. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri.
e. Memberikan peringatan kepada Bank Syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional.
f. Mengusulkan kepada Bank Indonesia untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.
(6) Pelaksanaan atas pembinaan dan pengawasan oleh Dewan Syariah Nasional dibiayai oleh Negara.

Pasal 27

(1) Bank Syariah wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional, segala keterangan, dan penjelasan mengenai usahanya menurut tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan/atau Dewan Syariah Nasional.
(2) Bank Syariah atas permintaan Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional, wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya, serta wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen dan penjelasan yang dilaporkan oleh Bank Syariah yang bersangkutan.
(3) Keterangan tentang Bank Syariah yang diperoleh berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak diumumkan dan bersifat rahasia.









BAB VI
DEWAN KOMISARIS, DIREKSI DAN TENAGA ASING

Pasal 28

(1) Pengangkatan keanggotaan dewan komisaris dan direksi pada Bank Syariah, wajib melalui uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia bersama Dewan Syariah Nasional.
(2) Perubahan keanggotaan dewan komisaris dan direksi Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
(3) Uji kelayakan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikecualikan bagi Dewan Komisaris Bank Konvensional yang memiliki Direktorat Usaha Syariah.
(4) Dalam menjalankan kegiatannya, Bank Syariah dapat menggunakan tenaga asing.
(5) Bagi tenaga asing di level manajemen Bank Syariah, wajib melalui uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia bersama Dewan Syariah Nasional
(6) Persyaratan mengenai penggunaan tenaga asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan peraturan pemerintah


BAB VII
RAHASIA BANK

Pasal 29

(1) Bank Syariah wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penitip dan/atau nasabah investor beserta titipannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi pihak terafiliasi.

Pasal 30

(1) Untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan menteri keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank Syariah agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penitip dan/atau nasabah investor tertentu kepada pejabat pajak.
(2) Perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus menyebutkan nama pejabat pajak dan nama nasabah wajib pajak yang dikehendaki keterangannya.

Pasal 31

(1) Untuk penyelesaian piutang Bank Syariah yang sudah diserahkan kepada badan urusan piutang dan lelang negara/panitia urusan piutang negara, pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat badan urusan piutang dan lelang negara/panitia urusan piutang negara untuk memperoleh keterangan dari Bank Syariah mengenai titipan nasabah pembiayaan.
(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan dari kepala badan urusan piutang dan lelang negara/panitia urusan piutang negara.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan pejabat badan urusan piutang dan lelang negara/panitia urusan piutang negara, nama nasabah pembiayaan yang bersangkutan dan alasan diperlukannya keterangan.



Pasal 32

(1) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari Bank Syariah mengenai titipan tersangka atau terdakwa pada bank.
(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari kepala kepolisian Republik Indonesia, jaksa agung, atau ketua mahkamah agung.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan polisi, jaksa, atau hakim, nama tersangka atau terdakwa, alasan diperlukannya keterangan dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan.

Pasal 33

Bank Syariah wajib memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32.


Pasal 34

(1) Dalam rangka tukar menukar informasi antar bank, direksi Bank Syariah dapat memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain.
(2) Ketentuan mengenai tukar menukar informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Bank Indonesia.


Pasal 35

(1) Atas permintaan, persetujuan atau kuasa nasabah penitip dan/atau nasabah investor yang dibuat secara tertulis, Bank Syariah wajib memberikan keterangan mengenai titipan nasabah penitip pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh nasabah penitip dan/atau investor tersebut.
(2) Dalam hal nasabah penitip dan/atau nasabah investor telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari nasabah penitip dan/atau nasabah investor yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai titipan nasabah penitip dan/atau nasabah investor tersebut.

Pasal 36

Pihak yang merasa dirugikan oleh keterangan yang diberikan oleh Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 34 berhak untuk mengetahui isi keterangan tersebut dan meminta pembetulan jika terdapat kesalahan dalam keterangan yang diberikan.


BAB VIII
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 37

(1) Barangsiapa yang mendirikan Bank Syariah tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000.000,- (dua ratus milyar rupiah).
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.


Pasal 38

(1) Barangsiapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32, dengan sengaja memaksa Bank Syariah atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus milyar rupiah).
(2) Anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 29 diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 4.000.000.000,- (empat milyar rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,- (delapan milyar rupiah).

Pasal 39

Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurang 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 4.000.000.000,- (empat milyar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000 (lima belas milyar rupiah).

Pasal 40

(1) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 4.000.000.000,- (empat milyar rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah).
(2) Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai Bank Syariah yang lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda sekurang-kurangnya Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp 2 (dua milyar rupiah).

Pasal 41

(1) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja :
a. Membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
b. Menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
c. Mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut, diancam dengan pidanan penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000.000,- (dua ratus milyar rupiah).
(2) Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai Bank Syariah yang dengan sengaja :
a. Meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas pembiayaan dari Bank Syariah, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh Bank Syariah atas surat-surat wesel, surat promes, cek dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana melebihi batas pembiayaannya pada Bank Syariah.
b. Tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah terhadap ketentuan dalam undang-undang ini ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta sekurangnya Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah)

Pasal 42

Pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi Bank Syariah, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah).

Pasal 43

Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Bank Syariah tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi Bank Syariah, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000.000,- (dua ratus milyar rupiah).

Pasal 44

(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40 ayat (1), Pasal 41, Pasal 42, dan Pasal 43 adalah kejahatan.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat (2) adalah pelanggaran.

Pasal 45

(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, dan Pasal 43, Bank Indonesia dapat menetapkan sanksi administratif kepada pihak terafiliasi yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini atau menyampaikan pertimbangan kepada instansi yang berwenang untuk mencabut izin yang bersangkutan.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain adalah:
a. denda uang;
b. teguran tertulis;
c. penurunan tingkat ksehatan bank;
d. laraan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
e. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan;
f. pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia
g. pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.
(3) Pelaksanaan lebih lanjut mengenai sanksi administratif ditetapkan oleh Bank Indonesia.


BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 46

Bank Syariah yang telah memiliki izin usaha pada saat undang-undang ini mulai berlaku, dinyatakan telah memperoleh izin usaha berdasarkan undang-undang ini.

Pasal 47

(1) Bank umum dan bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan unit usaha syariah pada bank konvensional tetap dapat melaksanakan kegiatan usahanya sebelum menyesuaikan dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
(2) Bank umum dan bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan unit usaha syariah pada bank konvensional wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam undang-undang ini selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak mulai berlakunya undang-undang ini.

Pasal 48

Peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya undang-undang ini sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan dicabut, diganti, atau diperbaharui.


BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 49

Dengan berlakunya undang-undang ini maka :
Ketentuan yang terkait dengan bank umum dan bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dicabut dengan undang-undang ini.


Undang-undang ini berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.





Disahkan Di Jakarta
Pada Tanggal __, __________, 200__
Presiden Republik Indonesia
Ttd

Diundangkan Di Jakarta
Pada Tanggal __, ___________, 200__
Menteri Sekretaris Negara
Ttd



Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 200__
Nomor ____

No comments: